Assalamu'alaikum Wr Wb

Latest Posts

Sabtu, 08 Mei 2010

“Sembahlah Allah dan janganlah kamu mempersekutukan-Nya dengan sesuatu pun. Dan berbuat baiklah kepada kedua orangtua.”(An-Nisa’: 36)
Islam mengajarkan kepada umatnya untuk berbakti kepada orangtua. Perintah berbakti senantiasa mengiringi perintah untuk tidak menyekutukan Allah. Hal ini memiliki arti betapa pentingnya berbakti kepada orang tua.

Berbakti kepada orangtua adalah dengan cara menaati perintah orangtua, mengedepankan kepentingan orangtua daripada kepentingan diri sendiri, serta berusaha untuk melakukan yang terbaik untuk orangtua.
Adapun buah yang akan dipetik oleh anak yang berbakti kepada orangtuanya adalah sebagai berikut:
1. Doanya mustajab
Dalam sebuah hadits yang diriwayatkan Imam Al-Bukhari dan Muslim dikisahkan ada tiga orang yang bermalam di sebuah gua. Tiba-tiba gua itu tersumbat oleh batu besar. Salah satu dari tiga orang itu adalah orang yang sangat berbakti kepada orangtuanya. Maka orang itu dan Allah mengabulkan doanya, sehingga batu besar tersebut bergeser sehingga ketiganya bisa keluar dari gua dengan selamat.
2. Dosanya diampuni
Dalam sebuah hadits dikisahkan ada seseorang datang kepada Nabi Muhammad saw, orang itu berkata, “Aku telah melakukan dosa besar. Apakah dosaku bisa diampuni?” Rasulullah saw balik bertanya, “Apakah engkau masih punya ibu?’Orang itu menjawab, “Tidak.” Rasulullah bertanya lagi, ‘Apakah engkau masih punya bibi?’ Ia menjawab, ‘Ya.’ Rasulullah bersabda, “Berbaktilah kepadanya.” (HR. At-Tirmidzi)
Hadits tersebut menyatakan bahwa berbakti dengan orangtua dapat menyebabkan dosa terampuni.
3. Mendapat pahala berjihad di jalan Allah
Suatu ketika ada seorang datang kepada Nabi Muhammad saw meminta izin untuk berjihad. Beliau bertanya, “Apakah kedua orangtuamu masih hidup?” Ia menjawab, “Ya.” Beliau bersabda, “Berjihadlah pada mereka berdua.” (HR. Al-Bukhari, Muslim, dan Abu Dawud)
4. Mendapatkan keberkahan umur dan rezeki
Rasulullah saw bersabda, “Barangsiapa yang ingin dipanjangkan umurnya dan melimpah rezekinya, maka, berbaktilah kepada kedua orangtuanya dan menyambung tali silaturrahim.” (HR. Ahmad)
5. Masuk surga
Suatu ketika ada seorang yang bernama Jamihah datang menemui Nabi Muhammad saw. Jamihah berkata, “Wahai Rasulullah, aku ingin berperang. Aku datang untuk bermusyawarah denganmu.” Rasulullah saw bertanya, “Apakah engkau masih punya ibu?” Jamihah menjawab, “Ya.” Rasulullah saw bersabda, “Jangan tinggalkan dia (ibumu). Sesungguhnya surga berada di telapak kakinya.” (HR. An-Nasa`i dan Ibnu Majah)
6. Memperoleh ridha Allah
Rasulullah saw bersabda,
“Keridhaan Allah terletak pada keridhaan orangtua, dan murka Allah terletak pada murka orangtua.” (At-Tirmidzi dan Ibnu Hibban)
read more...

Jumat, 30 April 2010

Sahabat adalah keperluan jiwa, yang mesti dipenuhi, Dialah ladang hati, yang kau taburi dengan kasih dan kau tuai dengan penuh rasa terima kasih. Dan dia pulalah naungan dan pendianganmu. Kerana kau menghampirinya saat hati lupa dan mencarinya saat jiwa mau kedamaian...

Bila dia berbicara, mengungkapkan fikirannya, kau tiada takut membisikkan kata “Tidak” di kalbumu sendiri, pun tiada kau menyembunyikan kata “Ya”.

Dan bilamana dia diam,hatimu berhenti dari mendengar hatinya; kerana tanpa ungkapan kata, dalam persahabatan, segala fikiran, hasrat, dan keinginan dilahirkan bersama dan dikongsi, dengan kegembiraan tiada terkirakan.

Di kala berpisah dengan sahabat, tiadalah kau berdukacita;
Kerana yang paling kau kasihi dalam dirinya, mungkin kau nampak lebih jelas dalam ketiadaannya, bagai sebuah gunung bagi seorang pendaki, nampak lebih agung daripada tanah ngarai dataran.

Dan tiada maksud lain dari persahabatan kecuali saling memperkaya roh kejiwaan.
Kerana cinta yang mencari sesuatu di luar jangkauan misterinya, bukanlah cinta , tetapi sebuah jala yang ditebarkan: hanya menangkap yang tiada diharapkan.

Dan persembahkanlah yang terindah bagi sahabatmu.

Jika dia harus tahu musim surutmu, biarlah dia mengenali pula musim pasangmu.

Gerangan apa sahabat itu jika kau sentiasa mencarinya, untuk sekadar bersama dalam membunuh waktu?

Carilah ia untuk bersama menghidupkan sang waktu!
Kerana dialah yang bisa mengisi kekuranganmu, bukan mengisi kekosonganmu.

Dan dalam manisnya persahabatan, biarkanlah ada tawa ria dan berkongsi kegembiraan..
Kerana dalam titisan kecil embun pagi, hati manusia menemui fajar dan ghairah segar kehidupan.

~ Khalil Gibran ~

read more...

Rabu, 28 April 2010

Berhentilah Jadi Gelas

Selawat, Tazkirah, Wasiat

بسم الله الرحمان الرحيم
الحمد لله رب العالمين حمداً يوافى نعمه ويكافئ مزيده

اللهم صل صلاة كاملة وسلم سلاما تاما على سيدنا محمد
الذى تنحل به العقد وتنفرج به الكرب وتقضى به الحوائج
تنال به الرغائب وحسن الخواتم وسيتشقى الغمام بوجهه الكريم
وعلى آله وصحبه فى كل لمحة ونفس بعدد كل معلوم لك
- Selawat at-Tafrijiyyah / Selawat an-Nariyyah / Selawat Kamilah

الســــلام عليكم ورحمة الله وبركـــاته

“ALLAH tidak Membebani seseorang
melainkan sesuai dengan kesanggupan nya.” – 2 : 286

______________________

Seorang guru sufi mendatangi seorang murid nya ketika wajahnya belakangan ini selalu tampak murung.

“Kenapa kau selalu murung, nak? Bukankah banyak hal yang indah di dunia ini? Ke mana pergi nya wajah bersyukurmu?” sang Guru bertanya.

“Guru, belakangan ini hidup saya penuh masalah. Sulit bagi saya untuk tersenyum. Masalah datang seperti tak ada habis-habis nya,” jawab sang murid muda.

Sang Guru terkekeh. “Nak, ambil segelas air dan dua genggam garam. Bawalah kemari. Biar kuperbaiki suasana hatimu itu.”

Si murid pun beranjak pelan tanpa semangat. Ia laksanakan permintaan Guru nya itu, lalu kembali lagi membawa gelas dan garam sebagaimana yang diminta.

“Coba ambil segenggam garam, dan masukkan ke segelas air itu,” kata Sang Guru. “Setelah itu coba kau minum air nya sedikit.”

Si murid pun melakukan nya. Wajah nya kini meringis karena meminum air asin.

“Bagaimana rasanya?” tanya Sang Guru.

“Asin, dan perutku jadi mual,” jawab si murid dengan wajah yang masih meringis.

Sang Guru terkekeh-kekeh melihat wajah murid nya yang meringis keasinan.

“Sekarang kau ikut aku.” Sang Guru membawa murid nya ke danau di dekat tempat mereka. “Ambil garam yang tersisa, dan tebarkan ke danau.”

Si murid menebarkan segenggam garam yang tersisa ke danau, tanpa bicara. Rasa asin di mulut nya belum hilang. Ia ingin meludahkan rasa asin dari mulut nya, tapi tak dilakukan nya. Rasa nya tak sopan meludah di hadapan Mursyid, begitu pikir nya.

“Sekarang, coba kau minum air danau itu,” kata Sang Guru sambil mencari batu yang cukup datar untuk diduduki nya, tepat di pinggir danau.

Si murid menangkupkan kedua tangan nya, mengambil air danau, dan membawa nya ke mulut nya lalu meneguk nya. Ketika air danau yang dingin dan segar mengalir di tenggorokan nya, Sang Guru bertanya kepada nya, “Bagaimana rasa nya?”

“Segar, segar sekali,” kata si murid sambil mengelap bibir nya dengan punggung tangan nya. Tentu saja, danau ini berasal dari aliran sumber air di atas sana. Dan air nya mengalir menjadi sungai kecil di bawah. Dan sudah pasti, air danau ini juga menghilangkan rasa asin yang tersisa di mulut nya.

“Terasakah rasa garam yang kau tebarkan tadi?”

“Tidak sama sekali,” kata si murid sambil mengambil air dan meminum nya lagi. Sang Guru hanya tersenyum memperhatikan nya, membiarkan murid nya itu meminum air danau sampai puas.

“Nak,” kata Sang Guru setelah murid nya selesai minum. “Segala masalah dalam hidup itu seperti segenggam garam. Tidak kurang, tidak lebih. Hanya segenggam garam. Banyak nya masalah dan penderitaan yang harus kau alami sepanjang kehidupanmu itu sudah dikadar oleh ALLAH, sesuai untuk dirimu. Jumlah nya tetap, segitu-segitu saja, tidak berkurang dan tidak bertambah. Setiap manusia yang lahir ke dunia ini pun demikian. Tidak ada satu pun manusia, walaupun dia seorang Nabi, yang bebas dari penderitaan dan masalah.”

Si murid terdiam, mendengarkan.

“Tapi Nak, rasa ‘asin’ dari penderitaan yang dialami itu sangat tergantung dari besar nya qalbu yang menampung nya. Jadi Nak, supaya tidak merasa menderita, berhentilah jadi gelas. Jadikan qalbu dalam dadamu itu jadi sebesar danau.”" – Sumber

______________________

“Sesungguh nya ALLAH tidak Mengubah apa yang ada pada sesuatu kaum
sehingga mereka mengubah apa yang ada pada diri mereka sendiri…
read more...

Sabtu, 10 April 2010

---- Wasiat Terindah untuk Seorang Isteri ---


1). TAQWA KEPADA ALLOH dan MENJAHUI MAKSIAT

Bila engkau ingin kesengsaraan bersarang di rumahmu dan bertunas, maka bermaksiatlah kepada Allah. Sesungguhnya kemaksiatan menghancurkan negeri dan menggoncang kerajaan. Oleh karena itu jangan engkau goncangkan rumahmu dengan berbuat maksiat kepada Allah.

Wahai hamba Allah..! jagalah Allah maka Dia akan menjagamu beserta keluarga dan rumahmu. Sesungguhnya ketaatan akan mengumpulkan hati dan mempersatukannya, sedangkan kemaksiatan akan mengoyak hati dan menceraiberaikan keutuhannya.

Karena itulah, salah seorang wanita shalihah jika mendapatkan sikap keras dan berpaling dari suaminya, ia berkata:Aku mohon ampun kepada Allah! itu terjadi karena perbuatan tanganku (kesalahanku) Maka hati-hatilah wahai saudariku muslimah dari berbuat maksiat, khususnya:

-Meninggalkan shalat atau mengakhirkannya atau menunaikannya dengan cara yang tidak benar.

-Duduk di majlis ghibah dan namimah, berbuat riya dan sum’ah.

-Menjelekkan dan mengejek orang lain. Allah berfirman :”Wahai orang-orang yang briman janganlah suatu kaum mengolok-olokkan kaum yang lain (karena) boleh jadi mereka (yang diolok-olokkan) lebih baik dari mereka (yang menolok-olokkan) dan janganlah wanita-wanita (mengolok-olokkan) wanita lain (karena) boleh jadi wanita-wanita (yang diperolok-olokkan) lebih baik dari wanita yang mengolok-olokkan(QS. Al Hujurat: 11).

-Keluar menuju pasar tanpa kepentingan yang sangat mendesak dan tanpa didampingi mahram. Rasulullah bersabda: Negeri yang paling dicintai Allah adalah masjid-masjidnya dan negeri yang paling dibenci Allah adalah pasar-pasarnya (HR. Muslim).

-Mendidik anak dengan pendidikan barat atau menyerahkan pendidikan anak kepada para pambantu dan pendidik-pendidik yang kafir.

-Meniru wanita-wanita kafir. Rasulullah bersabda: Siapa yang menyerupai suatu kaum maka ia termasuk golongan mereka (HR. Imam Ahmad dan Abu Daud serta dishahihkan Al-Albany).

-Membiarkan suami dalam Kemaksiatannya.

-Tabarruj (pamer kecantikan) dan sufur (membuka wajah).

-Membiarkan sopir dan pembantu masuk ke dalam rumah tanpa kepentingan yang mendesak.

2). BERUPAYA MENGENAL dan MEMAHAMI SUAMI

Hendaknya engkau berupaya memahami suamimu. Apa–apa yang ia sukai, berusahalah memenuhinya dan apa-apa yang ia benci, berupayalah untuk menjauhinya dengan catatan selama tidak dalam perkara maksiat kepada Allah karena tidak ada ketaatan kepada makhluk dalam bermaksiat kepada Al-Khaliq (Allah Azza Wajalla).

3). KETAATAN YG NYATA Kpd SUAMI dan BERGAUL Dgn BAIK.

Sesungguhnya hak suami atas istrinya itu besar. Rasulullah bersabda: Seandainya aku boleh memerintahkanku seseorang sujud kepada orang lain niscaya aku perintahkan istri untuk sujud kepada suaminya (HR. Imam Ahmad dan Tirmidzi, dishahihkan oleh Al-Albany).

Hak suami yang pertama adalah ditaati dalam perkara yang bukan maksiat kepada Allah dan baik dalam bergaul dengannya serta tidak mendurhakainya. Rasulullah bersabda: Dua golongan yang shalatnya tidak akan melewati kepalanya, yaitu budak yang lari dari tuannya hingga ia kembali dan istri yang durhaka kepada suaminya hingga ia kembali (HR. Thabrani dan Hakim, dishahihkan oleh Al-Albany).

Ketahuilah, engkau termasuk penduduk surga dengan izin Allah, jika engkau bertakwa kepada Allah dan taat kepada suamimu. Dengan ketaatanmu pada suami dan baiknya pergaulanmu terhadapnya, engkau akan menjdai sebaik-baik wanita (dengan izin Allah).

4). BERSIKAP QANAAH (merasa cukup)

Kami meninginkan wanita muslimah ridha dengan apa yang diberikan untuknya baik itu sedikit ataupun banyak.

Maka janganlah ia menuntut di luar kesanggupan suaminya atau meminta sesuatu yang tidak perlu. Renungkanlah wahai saudariku muslimah, adabnya wanita salaf radhiallahu ¡Æanhunna¡ÄSalah seorang dari mereka bila suaminya hendak keluar rumah ia mewasiatkan satu wasiat kepadanya. Apakah itu??? Ia berkata pada suaminya:Hati-hatilah engkau wahai suamiku dari penghasilan yang haram, karena kami bisa bersabar dari rasa lapar namun kami tidak bisa bersabar dari api neraka

5). BAIK dlm MENGATUR URUSAN RUMAH TANGGA, seperti mendidik anak-anak dan tidak menyerahkannya pada pembantu, menjaga kebersihan rumah dan menatanya dengan baik dan menyiapkan makan pada waktunya.

Termasuk pengaturan yang baik adalah istri membelanjakan harta suaminya pada tempatnya (dengan baik), maka ia tidak berlebih-lebihan dalam perhiasan dan alat-alat kecantikan.

6). BAIK Dlm BERGAUL dengan keluarga suami dan kerabat-kerabatnya, khususnya dengan ibu suami sebagai orang yang paling dekat dengannya.

Wajib bagimu untuk menampakkan kecintaan kepadanya, bersikap lembut, menunjukkan rasa hormat, bersabar atas kekeliruannya dan engkau melaksanakan semua perintahnya selama tidak bermaksiat kepada Allah semampumu.

7).MENYERTAI SUAMI dalam PERASAANNYA dan TURUT MERASAKAN DUKA CITA dan KESEDIHANNYA.

Jika engkau ingin hidup dalam hati suamimu, maka sertailah ia dalam duka cita dan kesedihannya. Renungkanlah wahai saudariku kedudukan Ummul Mukminin, Khadijah radhiallahu’anha, dalam hati Rasulullah walaupun ia telah meninggal dunia.. Kecintaan beliau kepada Khadijah tetap bersemi sepanjang hidup beliau, kenangan bersama Khadijah tidak terkikis oleh panjangnya masa. Bahkan terus mengenangnya dan bertutur tentang andilnya dalam ujian, kesulitan dan musibah yang dihadapi. Seorangpun tidak akan lupa perkataannya yang masyur sehingga menjadikan Rasulullah merasakan ketenangan setelah terguncang dan merasa bahagia setelah bersedih hati ketika turun wahyu pada kali pertama: Demi Allah, Allah tidak akan menghinakanmu selamanya. Karena sungguh engkau menyambung silaturahmi, menanggung orang lemah, menutup kebutuhan orang yang tidak punya dan engkau menolong setiap upaya menegakkan kebenaran.(HR. Mutafaq alaihi, Bukhary dan Muslim).

8). BERSYUKUR (berterima kasih) kepada suami atas kebaikannya dan tidak melupakan keutamaannya.

Wahai istri yang mulia! Rasa terima kasih pada suami dapat kau tunjukkan dengan senyuman manis di wajahmu yang menimbulkan kesan di hatinya, hingga terasa ringan baginya kesulitan yang dijumpai dalam pekerjaannya. Atau engkau ungkapkan dengan kata-kata cinta yang memikat yang dapat menyegarkan kembali cintamu di hatinya. Atau memaafkan kesalahan dan kekurangannya dalam menunaikan hak-hakmu dengan membandingkan lautan keutamaan dan kebaikannya kepadamu.

9).MENYIMPAN RAHASIA SUAMI dan MENUTUPI KEKURANGANNYA (aibnya).

Istri adalah tempat rahasia suami dan orang yang paling dekat dengannya serta paling tahu kekhususannya. Bila menyebarkan rahasia merupakan sifat yang tercela untuk dilakukan oleh siapapun, maka dari sisi istri lebih besar dan lebih jelek lagi. Saudariku, simpanlah rahasia-rahasia suamimu, tutuplah aibnya dan jangan engkau tampakkan kecuali karena maslahat yang syar’i seperti mengadukan perbuatan dzalim kepada Hakim atau Mufti atau orang yang engkau harapkan nasehatnya.

10). KECERDASAN dan KECERDIKAN serta BERHATI HATI dari KESALAHAN.

Termasuk kesalahan adalah: Seorang istri menceritakan dan menggambarkan kecantikan sebagian wanita yang dikenalnya kepada suaminya. Padahal Rasulullah telah melarang hal itu dalam sabdanya: Janganlah seorang wanita bergaul dengan wanita lain lalu mensifatkan wanita itu kepada suaminya sehingga seakan-akan suaminya melihatnya (HR. Bukhary dalam An-Nikah).

Untuk para istri yang berhasrat menjadi penyejuk hati dan mata suaminya. Semoga Allah memeliharamu dalam naungan kasih sayang dan rahmatNya. Amin.

Maraji': Rumah Tangga Tanpa Problema, Syaikh Mazin Bin Abdul Karim Al- Farih.


Jazakallah khairan katsir...,
Shofie (fiek's)
read more...

Menuju Surga


“Dan bersegeralah kamu kepada ampunan dari Tuhanmu dan kepada surga yang luasnya seluas langit dan bumi yang disediakan untuk orang-orang yang bertakwa, (yaitu) orang-orang yang menafkahkan (hartanya), baik di waktu lapang maupun sempit, dan orang-orang yang menahan amarahnya dan memaafkan (kesalahan) orang. Allah menyukai orang-orang yang berbuat kebajikan. Dan (juga) orang-orang yang apabila mengerjakan perbuatan keji atau menganiaya diri sendiri, mereka ingat akan Allah, lalu memohon ampun terhadap dosa-dosa mereka dan siapa lagi yang dapat mengampuni dosa selain daripada Allah? Dan mereka tidak meneruskan perbuatan kejinya itu, sedang mereka mengetahui.” (Ali Imran: 133-135)
Setiap orang muslim tentu berharap masuk surga dan selamat dari api neraka. Segala amal kebajikan dilakukan dan amal buruk ditinggalkan tidak lain untuk mendapat ridha Allah sehingga pada Hari Kiamat kelak menjadi penghuni surga yang luasnya seluas langit dan bumi. Surga yang demikian luas itu oleh Allah hanya disediakan untuk orang-orang yang bertakwa. Siapakah orang yang bertakwa itu? Dalam surat Ali Imran ayat 134-135 dijelaskan sifat-sifat orang yang bertakwa.
Pertama: Menafkahkan Harta dalam Keadaan Lapang maupun Sempit.
Keimanan yang bersemayam di hati seorang muslim, akan menggerakkannya untuk menafkahkan harta, bersedekah, berkorban dan berjihad di jalan Allah. Dia tidak akan merasa segan mengeluarkan apa yang dimilikinya untuk dibelanjakan di jalan Allah. Sebab, dia yakin bahwa Allah akan membalasnya dengan balasan yang lebih baik lagi. Di saat sekarang ini, dimana kebodohan merajalela, dan akhlak masyarakat merosot tajam, alangkah baiknya menafkahkan harta untuk kepentingan dakwah. Misalnya, membiayai penerbitan buku Islami, buletin Jum’at, kaset dan CD Islami. Sebab, dengan adanya informasi yang sesuai syariat, maka umat Islam tidak akan mudah mengikuti tradisi-tradisi yang bertentangan dengan agama. Seperti halnya sekarang ini, dimana media-media informasi dengan gencarnya mempropagandakan perayaan Hari Valentine. Padahal, budaya tersebut merupakan tradisi umat non-muslim yang tidak patutu dicontoh oleh umat Islam. Selain itu, dalam perayaan Hari Valentine mengandung ajakan untuk melakukan perbuatan yang dilarang agama dengan dalih kasih sayang.
Tentang pahala yang didapat orang yang menginfakkan hartanya, Allah swt berfirman, “Perumpamaan (nafkah yang dikeluarkan oleh) orang-orang yang menafkahkan hartanya di jalan Allah adalah serupa dengan sebutir benih yang menumbuhkan tujuh bulir, pada tiap-tiap bulir: seratus biji. Allah melipat gandakan (ganjaran) bagi siapa yang Dia kehendaki. Dan Allah Maha Luas (karunia-Nya) lagi Maha Mengetahui.”(Al-Baqarah: 261)
Kedua: Menahan Amarah.
Menahan amarah artinya mengendalikan diri dari emosi dan kemarahan serta tidak melampiaskannya kepada orang lain. Orang yang menahan amarah, jiwanya akan sehat, mencapai kesuksesan sosial, dan terhindar dari berbagai penyakit. Amarah yang tidak dibendung akan meningkatkan tensi darah dan detak jantung yang pada gilirannya menyebabkan tekanan darah tinggi, penyakit jantung, tenggorokan kering, infeksi saluran perut dan kerusakan organ tubuh lainnya. Rasulullah menjanjikan bagi orang yang dapat menahan amarahnya akan mendapat bidadari di surga. Beliau bersabda, “Orang yang menahan amarahnya padahal ia mampu melampiaskannya, maka (pada Hari Kiamat) Allah akan memanggilnya di hadapan para pemimpin manusia kemudian ia disuruh untuk memilih bidadari yang paling dia senangi.” (HR. At-Tirmidzi, Ahmad, dan Abu Dawud)
Ketiga: Memaafkan Kesalahan Orang Lain
Ketika ada seseorang menyakiti kita, tentu tidak mudah bagi kita untuk memaafkannya. Namun, Islam mengajak umatnya agar mau memaafkan kesalahan orang lain, dan menjanjikannya keutamaan di dunia maupun akhirat. Rasulullah saw bersabda, “Orang yang ingin ditinggikan bangunannya di surga dan diangkat derajat dirinya, maka maafkanlah orang yang telah menzhaliminya, memberi kepada orang yang tidak memberinya, dan menyambung tali silaturrahmi kepada orang yang memutuskannya. (HR. Al-Hakim)
Keempat: Bertaubat
Sifat orang bertakwa yang dijanjikan oleh Allah akan mendapatkan ampunan dan surga adalah orang yang ketika melakukan perbuatan keji atau melakukan maksiat, dia segera mengingat Allah dan bertaubat meminta ampunan. Bertaubat kepada Allah dilakukan dengan membaca istighfar, menyesali perbuatan dosa yang telah dilakukan, dan bertekad untuk tidak mengulanginya lagi. Dengan melaksanakan keempat amalan ini, semoga kita semua diampuni Allah dan kelak mendapatkan surga yang di dalamnya mengalir sungai-sungai dan kekal untuk selama-lamanya.

--Zafira --
read more...

Jumat, 09 April 2010

Sulitkah Berkata Jujur???


Mungkin jika kita mendengar kata jujur sudah pasti dosa yang akan terlintas di benak anda, namun mengapa masih banyak orang yang melakukannya yang sesunggunya jelas-jelas bahwa hal tersebut adalah salah!! Masing-masing watak seseorang memang berbeda-beda dalam memahami pentingnya sebuah kejujuran, dimana kerap kali sangat sulit untuk melakukan sesuatu hal yang tidak bertentangan dengan hati nurani kita, apakah hal tersebut dikarenakan karna sudah menjadi kebiasaan, atau kurangnya nilai-nilai agama yang ada pada diri masing-masing orang?

Beberapa contoh kecil sebuah kejujuran seperti seorang anak dimana seharusnya bisa dikatakan lugu dan polos namun sudah mampu membohongi orang tua, misalkan seorang anak yang melakukan kesalahan karena telah mengotori seragam sekolah, yang jelas-jelas orang tua sudah melarang bermain menggunakan seragam sekolah, namun jika kita lihat pada contoh diatas akan nampak bahwa rasa takut yang menyebabkan seseorang melakukan ketidak jujuran, lalu bagaimana dengan para anggota legislatif yang melakukan korupsi dengan jumlah besar atau bagaimana dengan seorang suami yang selingkuh dengan wanita lain? apakah tidak jujur muncul karna rasa bersalah seperti hal nya contoh anak yang mengotori seragam sekolahnya?

Memang akan sangat luas sekali jika kita membicarakan seseorang yang tidak jujur, dimana sesungguhnya dengan berkata jujur memberikan kepuasan tersendiri dalam benak dan hati kita, yang mungkin anda akan beranggapan bahwa dengan melakukan tidak jujur dalam hal materi meskipun kecil nilainya orang lain tidak akan mengetahui apa yang kita perbuat. Jika saya akan bertanya pada anda!! bagaimana perasaan anda disaat melakukan sesuatu dengan jujur dan dibandingkan dengan tidak jujur? apakah ada perbedaan dalam hati kecil pada diri anda dalam melakukan tidak jujur dan jujur? tentunya anda bisa menjawabnya. Jadi.., apakah sulit berkata jujur...?
read more...

---GODA'AN DUNIA & HARTA--- (Bag-1)

Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

إِنَّ الدُّنْيَا حُلْوَةٌ خَضِرَةٌ، وَإِنَّ اللهُ مُسْتَخْلِفُكُمْ فِيهَا فَيَنْظُرُ كَيْفَ تَعْمَلُونَ، فَاتَّقُوا الدُّنْيَا وَاتَّقُوا النِّسَاءَ فَإِنَّ أَوَّلَ فِتْنَةِ بَنِي إِسْرَائِيلَ كَانَتْ فِي النِّسَاءِ

“Sesungguhnya dunia itu manis (rasanya) dan hijau (menyenangkan dilihat). Dan sesungguhnya Allah Subhanahu wa Ta’ala menggantikan sebagian kalian dengan sebagian yang lain di dalamnya, maka Dia akan melihat bagaimana kalian beramal dengan dunia tersebut. Oleh karena itu, takutlah kalian terhadap godaan dunia (yang menggelincirkan kalian dari jalan-Nya) dan takutlah kalian dari godaan wanita, karena ujian yang pertama kali menimpa Bani Israil adalah godaan wanita.” (HR. Muslim dari Abu Sa’id Al-Khudri radhiyallahu ‘anhu)

إِنَّ لِكُلِّ أُمَّةٍ فِتْنَةً، وَفِتْنَةُ أُمَّتِي الْمَالُ

“Sesungguhnya setiap umat itu akan dihadapkan dengan ujian (yang terbesar). Dan termasuk ujian yang terbesar yang menimpa umatku adalah harta.” (HR. At-Tirmidzi dari ‘Iyadh bin Himar radhiyallahu ‘anhu)

Harta dan dunia bukanlah tolok ukur seseorang itu dimuliakan atau dihinakan oleh Allah Subhanahu wa Ta’ala. Sebagaimana firman-Nya:

فَأَمَّا الْإِنْسَانُ إِذَا مَا ابْتَلَاهُ رَبُّهُ فَأَكْرَمَهُ وَنَعَّمَهُ فَيَقُولُ رَبِّي أَكْرَمَنِ. وَأَمَّا إِذَا مَا ابْتَلَاهُ فَقَدَرَ عَلَيْهِ رِزْقَهُ فَيَقُولُ رَبِّي أَهَانَنِ

Adapun manusia apabila Rabbnya mengujinya lalu dimuliakan-Nya dan diberi-Nya kesenangan, maka dia berkata: “Rabbku telah memuliakanku.” Adapun bila Rabbnya mengujinya lalu membatasi rezekinya maka dia berkata: “Rabbku menghinakanku.” (Al-Fajr: 15-16)

Al-Imam Ibnul Qayyim rahimahullahu berkata: “Maksud ayat-ayat tersebut adalah tidak setiap orang yang Aku (Allah Subhanahu wa Ta’ala) beri kedudukan dan limpahan nikmat di dunia berarti Aku limpahkan keridhaan-Ku kepadanya. Hal itu hanyalah sebuah ujian dan cobaan dari-Ku untuknya. Dan tidaklah setiap orang yang Aku sempitkan rezekinya, Aku beri sekadar kebutuhan hidupnya tanpa ada kelebihan, berarti Aku menghinakannya. Namun Aku menguji hamba-Ku dengan kenikmatan-kenikmatan sebagaimana Aku mengujinya dengan berbagai musibah.” (Ijtima’ul Juyusy, hal. 9)

Sehingga, dunia dan harta bisa menyebabkan pemiliknya selamat serta mulia di dunia dan akhirat, apabila dia mendapatkannya dengan cara yang diperbolehkan oleh Allah Subhanahu wa Ta’ala dan Rasul-Nya Shallallahu ‘alaihi wa sallam. Dia juga mensyukurinya serta menunaikan hak-haknya sehingga tidak diperbudak oleh dunia dan harta tersebut. Sebagaimana sabda Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam:

لَا حَسَدَ إِلَّا فِي اثْنَتَيْنِ: رَجُلٌ آتَاهُ اللهُ مَالًا فَسَلَّطَهُ عَلَى هَلَكَتِهِ فِي الْحَقِّ، وَرَجُلٌ آتَاهُ اللهُ حِكْمَةً فَهُوَ يَقْضِي بِهَا وَيُعَلِّمُهَا

“Tidak boleh iri kecuali kepada dua golongan: Orang yang Allah Subhanahu wa Ta’ala karuniakan harta kepadanya lalu dia infakkan di jalan yang benar, serta orang yang Allah Subhanahu wa Ta’ala karuniakan ilmu kepadanya lalu dia menunaikan konsekuensinya (mengamalkannya) dan mengajarkannya.” (Muttafaqun ‘alaih dari Ibnu Mas’ud radhiyallahu ‘anhu)

Dan demikianlah keadaan para sahabat dahulu. Abu Dzar radhiyallahu ‘anhu menceritakan: Beberapa orang sahabat Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam berkata kepada beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam:

يَا رَسُولَ اللهِ، ذَهَبَ أَهْلُ الدُّثُورِ بِالْأُجُورِ، يُصَلُّونَ كَمَا نُصَلِّي وَيَصُومُونَ كَمَا نَصُومُ وَيَتَصَدَّقُونَ بِفُضُولِ أَمْوَالِهِمْ

“Wahai Rasulullah, orang-orang kaya telah mendahului kami untuk mendapatkan pahala. Mereka shalat sebagaimana kami shalat. Mereka juga berpuasa sebagaimana kami berpuasa. Namun mereka bersedekah dengan kelebihan harta mereka.” (HR. Muslim)

Sebaliknya, orang yang tertipu dengan harta dan dunia sehingga dia diperbudak olehnya, dia akan celaka dan binasa di dunia maupun akhirat. Na’udzu billah min dzalik (Kita berlindung kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala dari hal tersebut). Padahal Allah Subhanahu wa Ta’ala telah memperingatkan tentang hakikat harta dan dunia itu dalam firman-Nya:

وَمَا الْحَيَاةُ الدُّنْيَا إِلَّا مَتَاعُ الْغُرُورِ

“Kehidupan dunia itu tidak lain hanyalah kesenangan yang memperdayakan.” (Ali Imran: 185)

Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

مَا الْفَقْرُ أَخْشَى عَلَيْكُمْ وَلَكِنِّي أَخْشَى أَنْ تُبْسَطَ عَلَيْكُمُ الدُّنْيَا كَمَا بُسِطَتْ عَلَى مَنْ كَانَ قَبْلَكُمْ فَتَنَافَسُوهَا كَمَا تَنَافَسُوهَا فَتُهْلِكُكُمْ كَمَا أَهْلَكَتْهُمْ

“Bukanlah kefakiran yang aku khawatirkan atas kalian. Namun aku khawatir akan dibentangkan dunia kepada kalian sebagaimana telah dibentangkan kepada orang-orang sebelum kalian, lalu kalian berlomba-lomba mendapatkannya sebagaimana orang-orang yang sebelum kalian, maka dunia itu akan membinasakan kalian sebagaimana dia telah membinasakan orang-orang yang sebelum kalian.” (Muttafaqun ‘alaih dari ‘Amr bin ‘Auf radhiyallahu ‘anhu)

تَعِسَ عَبْدُ الدِّيْنَارِ وَالدِّرْهَمِ وَالْقَطِيفَةِ وَالْخَمِيصَةِ، إِنْ أُعْطِيَ رَضِي وَإِنْ لَمْ يُعْطَ لَمْ يَرْضَ

“Celaka hamba dinar, dirham, qathifah, dan khamishah (keduanya adalah jenis pakaian). Bila dia diberi maka dia ridha. Namun bila tidak diberi dia tidak ridha.” (HR. Al-Bukhari dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu)

Allah Subhanahu wa Ta’ala menceritakan kejahatan orang yang berilmu dan ahli ibadah dari kalangan ahli kitab yang telah diperbudak oleh harta dan dunia dalam firman-Nya:

يَاأَيُّهَا الَّذِينَ ءَامَنُوا إِنَّ كَثِيرًا مِنَ الْأَحْبَارِ وَالرُّهْبَانِ لَيَأْكُلُونَ أَمْوَالَ النَّاسِ بِالْبَاطِلِ وَيَصُدُّونَ عَنْ سَبِيلِ اللهِ

“Wahai orang-orang yang beriman, sesungguhnya sebagian besar dari orang-orang alim Yahudi dan rahib-rahib Nasrani benar-benar memakan harta orang dengan jalan yang batil dan mereka menghalang-halangi (manusia) dari jalan Allah.” (At-Taubah: 34)

Al-Imam Ibnu Katsir rahimahullahu menerangkan dalam tafsirnya: “Yang dimaksud ayat tersebut adalah peringatan dari para ulama su’ (orang yang berilmu tapi jahat) dan ahli ibadah yang sesat. Sebagaimana ucapan Suyfan ibnu Uyainah rahimahullahu: ‘Barangsiapa yang jahat dari kalangan orang yang berilmu di antara kita, berarti ada keserupaan dengan para pemuka Yahudi. Sedangkan barangsiapa yang sesat dari kalangan ahli ibadah kita, berarti ada keserupaan dengan para pendeta Nasrani. Di mana Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda dalam sebuah hadits yang shahih: ‘Sungguh-sungguh ada di antara kalian perbuatan-perbuatan generasi sebelum kalian. Seperti bulu anak panah menyerupai bulu anak panah lainnya.’ Para sahabat radhiyallahu ‘anhum bertanya: ‘Apakah mereka orang Yahudi dan Nasrani?’ Beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam menjawab: ‘Siapa lagi?’

Dalam riwayat yang lain mereka bertanya: ‘Apakah mereka Persia dan Romawi?’ Beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam menjawab: ‘Siapa lagi kalau bukan mereka?’

Intinya adalah peringatan dari tasyabbuh (menyerupai) ucapan maupun perbuatan mereka. Oleh karena itulah Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman:

لَيَأْكُلُونَ أَمْوَالَ النَّاسِ بِالْبَاطِلِ وَيَصُدُّونَ عَنْ سَبِيلِ اللهِ

“(Mereka) benar-benar memakan harta orang dengan jalan yang batil dan mereka menghalang-halangi (manusia) dari jalan Allah.” (At-Taubah: 34)

Hal itu karena mereka memakan harta orang lain dengan kedok agama. Mereka mendapat keuntungan dan kedudukan di sisi umat, sebagaimana para pendeta Yahudi dan Nasrani mendapatkan hal-hal tersebut dari umatnya di masa jahiliah. Hingga ketika Allah Subhanahu wa Ta’ala mengutus Rasul-Nya Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa sallam, mereka pun tetap berkeras di atas kejahatan, kesesatan, kekafiran, dan permusuhannya, disebabkan ambisi mereka terhadap kedudukan tersebut. Maka Allah Subhanahu wa Ta’ala memadamkan kesesatan itu dengan cahaya kenabian sekaligus menggantikan kedudukan mereka degan kehinaan serta kerendahan. Dan mereka akan kembali menghadap Allah Subhanahu wa Ta’ala membawa kemurkaan-Nya.”

Asy-Syaikh Muhammad Al-Imam hafizhahullah berkata: “Sungguh, ambisi terhadap dunia termasuk sebab yang menimbulkan berbagai macam fitnah pada generasi pertama. Telah terdapat riwayat yang shahih dari Ibnu Umar radhiyallahu ‘anhuma, dalam Masa’il Al-Imam Ahmad (2/171), bahwa beliau radhiyallahu ‘anhuma berkata: Seorang dari Anshar datang kepadaku pada masa khalifah Utsman radhiyallahu ‘anhu. Dia berbicara denganku. Tiba-tiba dia menyuruhku untuk mencela Utsman radhiyallahu ‘anhu. Maka aku katakan: ‘Sungguh, demi Allah, kita tidak mengetahui bahwa Utsman membunuh suatu jiwa tanpa alasan yang benar. Dia juga tidak pernah melakukan dosa besar (zina) sedikitpun. Namun inti masalahnya adalah harta. Apabila dia memberikan harta tersebut kepadamu, niscaya engkau akan ridha. Sedangkan bila dia memberikan harta kepada saudara/kerabatnya, maka kalian marah.”

Selanjutnya, Asy-Syaikh Muhammad Al-Imam hafizhahullah berkata: “Bila kalian arahkan pandangan ke tengah-tengah kaum muslimin, baik di zaman yang telah lalu maupun sekarang, niscaya engkau akan saksikan kebanyakan orang yang tergelincir dari jalan ini (al-haq) adalah karena tamak terhadap dunia dan kedudukan. Maka barangsiapa yang membuka pintu ini untuk dirinya niscaya dia akan berbolak-balik. Berubah-ubah prinsip agamanya dan akan menganggap remeh/ringan urusan agamanya. (Bidayatul Inhiraf, hal. 141)

Al-Imam Ibnul Qayyim rahimahullahu berkata: “Setiap orang dari kalangan orang yang berilmu yang lebih memilih dunia dan berambisi untuk mendapatkannya, pasti dia akan berdusta atas nama Allah Subhanahu wa Ta’ala dalam fatwanya, dalam hukum yang dia tetapkan, berita-berita yang dia sebarkan, serta konsekuensi-konsekuensi yang dia nyatakan. Karena hukum-hukum Allah Subhanahu wa Ta’ala mayoritasnya menyelisihi ambisi manusia. Lebih-lebih ambisi orang yang tamak terhadap kedudukan dan orang yang diperbudak hawa nafsunya. Ambisi mereka tidak akan bisa mereka dapatkan dengan sempurna kecuali dengan menyelisihi kebenaran dan sering menolaknya. Apabila seorang yang berilmu atau hakim berambisi terhadap jabatan dan mempertuhankan hawa nafsunya, maka ambisi tersebut tidak akan didapatkan dengan sempurna kecuali dengan menolak kebenaran…

Mereka pasti akan membuat-buat perkara yang baru dalam agama, disertai kejahatan-kejahatan dalam bermuamalah. Maka terkumpullah pada diri mereka dua perkara tersebut (kedustaan dan kejahatan).

Sungguh, mengikuti hawa nafsu itu akan membutakan hati, sehingga tidak lagi bisa membedakan antara sunnah dengan bid’ah. Bahkan bisa terbalik, dia lihat yang bid’ah sebagai sunnah dan yang sunnah sebagai bid’ah. Inilah penyakit para ulama bila mereka lebih memilih dunia dan diperbudak oleh hawa nafsunya.” (Al-Fawaid, hal 243-244)

اللَهُّمَ أَرِنَا الْحَقَّ حَقًّا وَارْزُقْنَا اتِّبَاعَهُ وَأَرِنَا الْبَاطِلَ بَاطِلًا وَارْزُقْنَا اجْتِنَابَهُ

“Ya Allah, tampakkanlah kepada kami kebenaran itu sebagai kebenaran dan karuniakanlah kami untuk mengikutinya. Dan tampakkanlah kebatilan itu sebagai kebatilan dan karuniakanlah kami untuk menjauhinya.” Wallahu ‘alam bish-shawab.


Jazakallah khairan katsir...
read more...

--- Goda'an DUNIA & HARTA --- ( Bag-2)

Mereka berkata bahwa sebagian kaum muslimin ketinggalan dalam sains dan teknologi akibat terlalu sibuk dengan urusan akhirat dan melupakan dunia.

Atas dasar apa mereka berkata demikian?

Adakah manusia yang sehat melupakan nasibnya di dunia, padahal dia sedang hidup di dunia?

Mungkinkan seseorang lupa terhadap apa yang sedang dialaminya?

Perlukah manusia diingatkan agar mereka mencari kenikmatan dunia?

Pernahkan anda membenci harta karena sibuk ibadah?

Sering terdengar ungkapan yang menerangkan bahwa Islam menganjurkan untuk mencari kekayaan. Dan menganjurkan agar kehidupan dunia seimbang dengan kehidupan akhirat. Anjuran tersebut sering didukung dengan menggunakan beberapa ayat al-Qur’an, diantaranya firman Allah :

وَابْتَغِ فِيمَا آتَاكَ اللَّهُ الدَّارَ الْآخِرَةَ وَلَا تَنسَ نَصِيبَكَ مِنَ الدُّنْيَا

Ayat ini sering diartikan dengan kalimat: “Dan carilah pada apa yang telah dianugerahkan Allah kepadamu (kebahagiaan) negeri akhirat, dan janganlah kamu melupakan bahagianmu dari (kenikmatan) duniawi...” [QS. al-Qashash (28) : 77]

Pemahaman yang sama juga diambil dari firman Allah yang berisi du’a yang selalu Rasul amalkan dan beliau anjurkan kepada ummatnya untuk selalu berdu’a dengan ayat tersebut, yaitu firman Allah :

رَبَّنَا آتِنَا فِي الدُّنْيَا حَسَنَةً وَفِي الآخِرَةِ حَسَنَةً وَقِنَا عَذَابَ النَّارِ

“Ya Allah berilah kami di dunia kebaikan dan di akhirat kebaikan, dan selamatkanlah kami dari siksa neraka.” [QS. al-Baqarah (2) : 201]

Kebanyakan manusia menganggap bahwa kebaikan dunia adalah harta kekayaan yang berlimpah, jabatan yang tinggi, badan selalu sehat, pasangan hidup yang senantiasa menghibur dan lain-lain.

Kita yakin bahwa Rasul SAW adalah kekasih Allah, bila beliau berdu’a memohon apapun pasti Allah mengabulkannya. Dan beliau sering sekali berdu’a dengan du’a ini.

Apakah yang dimaksud dengan kebaikan dunia menurut Islam? Kalau sekiranya yang dimaksud dengan kebaikan dunia adalah harta kekayaan yang berlimpah, mengapa Rasulullah tidak terkenal sebagai konglomerat?

Kalau yang dimaksud dengan kebaikan dunia adalah jabatan terhormat, mengapa Rasulullah dimusuhi oleh sebagian masyakat Arab? Atau yang dimaksud dengan kebaikkan itu adalah panjang umur dan sehat selalu, mangapa beliau hanya hidup selama 63 tahun dan terkadang menderita sakit? Sementara dianatara orang lain bahkan orang kafir ada yang mengalami hidup hingga lebih dari 100 tahun?

Disamping kedua ayat di atas ada lagi ayat yang sering dipahami dengan tafsirkan yang sama yang mengarah kapada materialism, yaitu firman Allah :

إِنَّ اللّهَ لاَ يُغَيِّرُ مَا بِقَوْمٍ حَتَّى يُغَيِّرُواْ مَا بِأَنْفُسِهِمْ

Ayat ini sering diartikan dengan: “Sesungguhnya Allah tidak akan merubah nasib satu kaum sehingga mereka sendiri merubahnya.” [QS. ar-Ra'd (13) : 11]

Sungguh banyak orang yang menjadikan ayat ini sebagai dalil tentang pentingnya kemajuan pembangunan fisik dan materi. Padahal tanpa didukng oeh ayat al-Qur’an, umumnya manusia berlomba dalam mencapai kemajuan material. Karena itu apakah makna dukungan tersebut?

Ketiga ayat ini sering dijadikan argumantasi oleh sebagian penceramah dan muballig untuk mendukung kaum muslimin agar semangat mencari kehidupan dunia, meningkatkan pembangunan fisik dan materi serta mendoroang mereka agar dapat berlomba dalam teknologi dan sains.

Keterangan seperti ini bukan saja disampaikan melalui ceramah-ceramah akan tetapi juga disampaikan melalu media cetak hingga pemahamannya sudah demikian melekat pada benak khalayak ramai, karena telah diuraikan oleh orang-orang yang mereka pandang sebagai penasihat terkemuka atau ulama.

Sangat penting kiranya bagi kita untuk melakukan studi dengan memperhatikan hubungannya dengan ayat sebelum dan sesudahnya, agar dapat diketahui lebih mendalam maknanya.

Ayat pertama firman Allah: “Dan carilah pada apa yang telah dianugerahkan Allah kepadamu (kebahagiaan) negeri akhirat, dan janganlah kamu melupakan bahagianmu dari (keni`matan) dunia.” [QS. al-Qashash (28) : 77]

Apa yang dimaksud dengan nasibmu dari dunia? Tentu berbeda dengan nasibmu di dunia.

Untuk memahami ayat ini, sangat diperlukan kajian terhadap ayat sebelumnya yaitu firman Allah :

إِنَّ قَارُونَ كَانَ مِن قَوْمِ مُوسَى فَبَغَى عَلَيْهِمْ وَآتَيْنَاهُ مِنَ الْكُنُوزِ مَا إِنَّ مَفَاتِحَهُ لَتَنُوءُ بِالْعُصْبَةِ أُولِي الْقُوَّةِ إِذْ قَالَ لَهُ قَوْمُهُ لَا تَفْرَحْ إِنَّ اللَّهَ لَا يُحِبُّ الْفَرِحِينَ

“Sesungguhnya Karun adalah termasuk kaum Musa, maka ia berlaku aniaya terhadap mereka, dan Kami telah menganugerahkan kepadanya perbendaharaan harta yang kunci-kuncinya sungguh berat dipikul oleh sejumlah orang yang kuat-kuat. (Ingatlah) ketika kaumnya berkata kepadanya: ‘Janganlah kamu terlalu bangga; sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang terlalu membanggakan diri’.” [QS. al-Qashash (28) : 76]

Kalau kita perhatikan dengan cermat, kedua ayat ini ternyata menjelaskan pentingnya beramal untuk akhirat dan mengingatkan jangan tertipu dengan keni’matan dunia seperti halnya yang dialami oleh Qarun.

Namun kenapa banyak yang memahami ayat yang berbunyi وَلَا تَنسَ نَصِيبَكَ مِنَ الدُّنْيَا sebagai dalil pentingnya mencari kehidupan dan meningkatkan kekayaan dunia. Padahal bila dihubungkan dengan ayat sebelumnya, dapat diketahui bahwa ayat ini ditujukan kepada orang-orang yang mendapat keni’matan banyak harta di dunia. Dan ayat ini mengarahkan mereka agar tidak terlena dengan kenimatan sesaat.

Mereka harus senantiasa ingat akan nasibnya dari dunia yang sangat sedikit dan sebentar. Bila kenikamatan yang sedikit ini tidak dimanfaatkan sebaik mungkin untuk kehidupan yang abadi tentu mereka akan menyesal untuk selamanya. Sementara sebagian orang menjadikan ayat ini sebagai dorongan untuk meningkatkan kehidupan duniawi, padahal tanpa menggunakan ayat al-Qur’an pun kebanyakan manusia terus berlomba dalam mencari dan meningkatkan kehidupan dunia.

Sebaliknya, karena kesibukan duniawi yang tidak pasti ini, banyak sekali manusia melupakan tugasnya sebagai hamba dalam menghadapi hari akhirat yang pasti terjadi. Karena itu sangat diperlukan bagi mereka penjelasan tentang hakikat keni’matan dunia, bahwa keni’matan tersebut Allah sediakan demi bekal akhirat. Dan manusia diingatkan bahwa waktu yang tersedia untuk membekali diri demi kepntingan akhirat sangat terbatas. Karena itu janganlah manusia lalai akan keterbatasan waktu ini.

Ibnu Abi-Ashim mengatakan: “Yang dimaksaud dengan ‘jangan lupa nasibmu dari dunia’ bukan berarti jangan melupakan keni’matan lahir di dunia, melainkan umurmu. Artinya gunakanlah usiamu untuk akhirat.”

Dan Ibnul Mubarak juga berpandangan yang sama, ia berkata: “Yang dimaksud dengan ‘jangan lupa nasibmu dari dunia’ adalah beramal ibadah dalam taat kepada Allah di dunia untuk meraih pahala diakhirat.”

Dua ungkapan diatas bukanlah ungkapan yang baru melainkan kelanjutan dari ungkapan para pendahuluunya dari para ahli tafsir baik generasi shahabat, tabiin atau tabittabi’in.

Dalam menafsirkan ayat ini Ath-Thabari mengatakan: “Janganlah kamu tinggalkan nasibmu dan kesempatanmu dari dunia untuk berjuang demi meraih nasibmu dari akhirat, maka kamu terus beramal ibadah yang dapat menyelamatkanmu dari siksaan Allah.”

Dia juga mengutip beberapa ungkapan para shahabat, dianataranya:

Ibnu Abbas: “Kamu beramal didunia untuk akhiratmu.”

Mujahid: “Beramal dengan mentaati Allah.”

Zaid: ”Janganlah kamu lupa mengutamakan dari kehidupan duniamu untuk akhiratmu, sebab kamu hanya akan mendapatkan di akhiratmu dari apa yang kamu kerjakan didunia dengan memanfaatkan apa yang Allah rizkikan kepadamu.”

Dari beberapa pernyataan shahabat diatas, dapat diketahui bahwa yang dimaksud dengan “jangan melupakan nasibmu dari dunia” adalah peringatan jangan lalai terhadap kesempatan untuk beramal yang tidak lama lagi akan berakhir. Artinya menyuruh manusia agar mampu menggunakan semua karunia Allah demi keselamatan dan kemaslahatan akhirat. Dengan demikian, maka makna ayat ini sangat erat hubungannya antara awal, tengah dan penghujung ayat. Dan tidak ada hubungan dengan perintah untuk berlomba dalam mencari kehidupan duniawi atau meningkatkan kemajuan ekonomi. Sebab tanpa perintah, umumnya manusia terus berlomba untuk meraih kehidupan dunia.

Namun demikian, justru pemahaman inilah yang lebih populer dan meyakinkan karena sering dikemukakan oleh orang-orang yang berpengaruh. Memang, tidak sedikit pandangan yang keliru tapi meyakinkan.

Pemahaman di atas juga sering di perkuat dengan ungkapan: Kerjakanlah untuk duniamu seolah-olah kamu akan hidup abadi, dan kerjakanlah untuk akhiratmu seolah-olah kamu akan mati esok hari.

Meski tidak pernah ada yang mengatakan siapa yang meriwayatkannya, sebagian penceramah mengatakan bahwa ungkapan ini adalah sabda Rasul SAW. Penulis hingga kini belum menemukan bukti sebagai hadits nabi.

Terlepas dari perkataan siapa kalimat tersebut, yang jelas kalimat ini mengandung pepatah yang sangat bermanfaat bagi masyarakat bila dipahamai dengan tepat. Dan bila ditemukan ada pahaman yang kurang tepat atau keliru, sebagai hamba, kita terpanggil untuk mengemukakan apa yang dipandang lebih tepat. Dengan harapan mudah-mudahan akan menjadi bahan pertimbangan. Menurut al-Qurthubi , kalimat di atas sejajar dengan ungkpan Abdullah bin Umar, ia berkata: “Bercocok tanamlah kamu seolah-olah kamu akan hidup abadi, dan beramallah kamu seolah-olah kamu akan mati esok hari.”

Sehubungan dengan kalimmat yang pertama yaitu keabadian hidup didunia al-Minawi berkata: “Yang demaksud dengan ungkapan tersebut adalah bahwa manusia apabila yakin akan hidup abadi maka akan berkuranglanglah hirsh-nya (cintanya kepada dunia) dan dia mengetahui bahwa apa yang diinginkannya pasti akan tercapai kendatipun ditempuh dengan rileks, sebab bila tidak tercapai hari ini maka akan diraih esok karena hidupku abadi.”

Karena itu, janganlah terlalu sibuk dalam urusan dunia sebab ada tugas lain yang lebih penting yaitu urusan akhirat. Dan dalam melaksanakan tugas demi meraih keni’matan akhirat, setiap hamba mesti Merasa seolah-olah tidak ada kesempatan lain untk melakukannya kecuali hari ini. Maka bila sedang sibuk menghadapi urusan keduniaan kemudian mendengar panggilan illahi berupa shalat, da’wah, infaq, jihad dan liannnya maka sambutlah panggilan ini dan tinggalkanlah urusuan dunia, karena kesempatan untuk menyambut panggilan ini tidak ada lagi waktu selain hari ini sementara untuk urusan dunia waktunya sangat lapang.

Sekiranya kalimat ini dari ungkapan Rasul, maka tidak dapat diragukan hadits Rasul adalah tafsir al-Qur’an yang pertama dan tepat untuk dijadikan sebagai rujukan utama dalam memahami al-Qur’an. Dan apabila kalimat tersebut adalah ungkapan shahabat, maka sesungguhnya mereka adalah generasi pertama yang lebih memahami makna al-Qur’an dan yang menjadi tauladan bagi generasi berikutnya. Karena itu pemahaman mereka adalah lebih tepat untuk diikuti dan dipercayai dibandingkan dengan pemahaman generasi berikutnya. Bila ditemukan pernyataan mereka tidak sesuai dengan petunjuk al-Qur’an, maka besar kemungkinan yang tidak sesuai bukan pernyataannya akan tetapi pemahaman kita terhadap pernyataan tersebut.
read more...

Hukum Orang yg Sengaja Tidak mau Membayar Hutang

Berdosa besar bagi orang yang sengaja tidak membayar hutang. Seseorang yang suka melewat-lewatkan bayaran hutang setelah berkemampuan untuk membayar-nya, boleh mendatangkan kesan buruk dalam hidupnya bukan saja di dunia bahkan di akhirat antaranya :

i. Hidup akan ditimpa kehinaan dan hilang maruahnya.

ii. Hidup mereka tidak akan mendapat Keridhaan dan Keberkatan Allah SWT.

iii. Perbuatan mereka itu digolongkan dalam perbuatan zalim.

iv. Amalan Kebajikan mereka tidak akan diterima.

Sabda Rasul S.A.W.
Maksudnya : “Penangguhan hutang oleh orang yang berkuasa membayarnya, adalah satu kezaliman, halal maruah dan hukuman ke atasnya (Yaitu pemberi hutang boleh mengambil tindakan ke atas diri dan maruahnya)

(Riwayat Ibnu Majah)

Sabda Rasul S.A.W.
Maksudnya : “Kurangkan dirimu daripada melakukan dosa, maka akan mudahlah bagimu ketika hendak mati. Kurangkan daripada berhutang niscaya kamu akan hidup bebas”.
(Riwayat Baihaqi)



jazakallah khairan katsir...
read more...

Kamis, 08 April 2010

Agar Kerja Bernilai Ibadah


Manusia hidup butuh bekerja untuk memenuhi kebutuhan hidupnya. Islam bahkan mengajarkan umatnya untuk giat bekerja dan mencari rezeki. Rasulullah saw bersabda, “Tiada seseorangpun makan makanan, yang lebih baik daripada dia makan dari (hasil) pekerjaan tangannya. Sesungguhnya Nabi Daud as, makan dari (hasil) pekerjaan tangannya.” (HR Al-Bukhari)
Suatu ketika Rasulullah saw berkata kepada para sahabatnya, “Sesungguhnya diantara dosa-dosa, ada satu dosa yang tidak bisa dihapus oleh shalat, tidak pula oleh puasa, tidak pula oleh haji dan tidak pula oleh umrah.” Para sahabat kemudian bertanya, “Lantas apa yang bisa menghapusnya, Wahai Rasulullah?” Rasulullah menjawab, “Keprihatinan dalam mencari rezeki.” (HR Ath-Thabrani)
Supaya bekerja bernilai sebagai ibadah, ada beberapa faktor yang harus dipenuhi, yaitu:
1- Menghadirkan Niat Tatkala Bekerja
Niat adalah ruh dan pondasi amal. Amal perbuatan seorang muslim tidak akan mendapatkan pahala, kecuali atas apa yang diniatinya. Rasulullah saw bersabda,“Adapun amal tergantung dari niatnya, dan setiap manusia akan mendapatkan apa yang dia niati.” (HR Al-Bukhari). Niat tidak hanya terbatas dalam ibadah saja, akan tetapi mencakup transaksi jual beli, bekerja, dan sebagainya. Dengan niat sesuatu yang mulanya adalah mubah bisa bernilai menjadi ibadah. Setiap muslim yang bekerja mengais rejeki di bidang pertanian, industri, perdagangan, dsb … akan memperoleh pahala ibadah dan pekerjaannya itu termasuk jihad fi sabilillah, manakala pekerjaan yang dia lakukan diniati supaya dirinya terjaga dari barang haram, tercukupi dengan barang halal dan terpenuhi kebutuhan keluarganya.
Suatu ketika Nabi dan para sahabat melihat ada seorang laki-laki yang ulet sekali dalam bekerja. Tiba-tiba ada salah seorang sahabat yang angkat bicara, “Wahai Rasulullah, andai saja keuletannya dipergunakan di jalan Allah.” Rasulullah menjawab, “Apabila dia keluar mencari rezeki karena anaknya yang masih kecil, maka dia di jalan Allah. Apabila dia keluar mencari rejeki karena kedua orang tuanya yang sudah renta, maka dia di jalan Allah. Apabila dia keluar mencari rejeki karena dirinya sendiri supaya terjaga harga dirinya, maka dia di jalan Allah. Apabila dia keluar mencari rejeki karena riya’ dan kesombongan, maka dia di jalan setan.” (Al-Mundziri, At-Targhîb wa At-Tarhîb)
2 – Mengamban Tugas Untuk Memakmurkan Bumi
Manusia adalah khalifah (wakil) Allah yang harus mengelola apa yang ada di muka bumi ini. Seorang muslim hendaknya menyadari bahwa dia mengemban tugas penting tersebut, sehingga harus bekerja secara optimal. Adapun hasilnya sepenuhnya dipasrahkan kepada Allah.
Karena tugasnya sebagai khalifah Allah, seorang muslim harus menyadari bahwa harta yang didapatkan adalah titipan yang suatu hari harus dikembalikan dan dipertanggunjawabkan. Rasulullah saw bersabda, “Telapak kaki anak Adam senantiasa berada di sisi Tuhannya pada Hari Kiamat, hingga dia ditanya atas lima perkara: Tentang umurnya untuk apa dia habiskan; tentang masa mudanya untuk apa dia pergunakan; tentang hartanya darimana dia dapatkan dan ke mana dia belanjakan; dan tentang ilmunya apa saja yang telah dia amalkan. (HR Tirmidzi)
3 – Bersungguh-sungguh dalam Mencari Rezeki
Segala sesuatu butuh kesungguhan agar mencapai hasil maksimal. Begitu pula dalam urusan bekerja. Seorang muslim harus memiliki kesungguhan dalam bekerja mencari rezeki, sedangkan hasil yang akan diperoleh sepenuhnya dipasrahkan kepada Allah. Karena hanya Allah yang mengatur seberapa besar rezeki seseorang.
Orang yang bersungguh-sungguh dalam bekerja, juga akan mendapatkan sesuatu yang berharga berupa ampunan dari Allah. Dalam sebuah hadits, Rasulullah saw bersabda, “Barang siapa yang sore harinya disibukkan dengan pekerjaan tangannya, maka sore harinya diampunkan (dosanya).“
4 – Ridha Atas Rejeki yang Diberikan Allah
Salah satu rukun iman adalah ridha atas qadha qadar yang telah ditetapkan Allah, baik yang menyenangkan maupun yang terasa pahit. Seorang muslim hendaknya memiliki keyakinan bahwasanya apa yang diberikan oleh Allah adalah yang terbaik baginya. Apabila mendapatkan rezeki yang sedikit, hendaknya tetap bersabar, dan kesabarannya itu akan berbuah pahala di akhirat. Begitu pula ketika mendapatkan rezeki yang banyak, hendaknya bersyukur kepada Allah dan membelanjakan harta itu untuk berjuang di jalan Allah. Dengan demikian dia juga akan mendapatkan pahala yang besar kelak di Hari Kiamat.
Rasululah saw bersabda, “Sungguh mengagumkan perilaku orang mukmin. Seluruh perilakunya berupa kebaikan, dan hal itu hanya terjadi pada orang mukmin. Apabila dia mendapat kebahagiaan, dia bersyukur, maka itu menjadi kebaikan baginya. Dan apabila dia ditimpa kesusahan, dia tetap bersabar, maka itu menjadi kebaikan baginya.” (HR Muslim).
5 – Mengaitkan Aktivitas Sehari-Hari Dengan Zikir Ekonomi
Dunia adalah tempat bercocok tanam yang hasilnya akan dipanen di akhirat kelak. Setiap manusia akan diminta pertanggungjawaban atas hartanya, darimana dia dapatkan dan ke mana dia belanjakan. Dari sini tampak betapa pentingnya menghubungkan perilaku sehari-hari dengan ibadah. Dalam hal ini, orang yang bekerja hendaklah melakukan zikir ekonomi dalam kehidupan sehari-hari. Sebab, zikir ekonomi merupakan sarana yang sangat baik untuk mengingat Allah, melipatgandakan amal kebajikan, menghapus amal buruk, memberikan motivasi dalam bekerja, melapangkan rejeki dan mewujudkan keberkahan atas hasil usaha.
Maksud dari zikir ekonomi adalah seorang yang bekerja, senantiasa berzikir dan berdoa dalam aktivitas kesehariannya. Dari mulai dia bangun pagi, kemudian berwudhu, shalat Subuh berjamaah, ketika hendak berangkat kerja, ketika berada di tempat kerja, dan setelah bekerja hingga menutup mata untuk tidur. Semua aktivitas itu harus diiringi dengan zikir dan doa. Dengan demikian, hari-harinya diisi dengan tetap mengingat Allah swt, sehingga apa yang dikerjakannya dan hasil yang didapatkannya mendapatkan ridha dari Allah swt.
Salah satu bentuk zikir ekonomi adalah ketika seorang muslim mendapat harta lantaran seseorang, dia akan berucap kepada orang itu, “Semoga Allah memberkati keluarga dan hartamu.”(HR Al-Bukhari). Jika suatu ketika dirinya terlilit hutang dan ingin melunasinya, maka dia berdoa, “Ya Allah, cukupilah aku dengan rejeki halal-Mu, jauh dari rejeki haram-Mu. Dan cukupkanlah diriku dengan anugerah-Mu, jauh dari selain diri-Mu.” (HR At-Tirmidzi).
Apabila musim paceklik menimpa, maka berdoalah, “Ya Allah turunkanlah kami hujan yang membantu, yang mengenakkan, yang menyuburkan, yang membawa manfaat, secepatnya dan tidak ditunda.” (HR At-Tirmidzi).
Ketika ditimpa musibah, hendaknya berdoa “Ya Allah, tiada kemudahan kecuali sesuatu yang Engkau jadikan mudah. Dan Engkau menjadikan kesusahan, jika Engkau ingankan (maka menjadi) kemudahan.”(HR Ibnu Hibban).
-- Zafira --
read more...